PERTEMUAN
KE 1
PRINSIP
DAN PRAKTIK EKONOMI ISLAM
A. Pengertian
Mu’amalah
Muamalah dalam kamus Bahasa
Indonesia artinya hal-hal yang termasuk urusan kemasyarakatan (pergaulan,
perdata, dan sebagainya). Sementara dalam fiqih islam berarti tukar menukar
barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditempuhnya, seperti
jual beli, pinjam meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha
lainnya.
Dalam melakukan transaksi ekonomi, seperti jual-beli, sewa- menyewa, utang-
piutang, dan pinjam-meminjam, islam melarang beberapa hal diantaranya seperti
berikut :
1. Tidak
boleh mempergunakan cara-cara yang batil.
2. Tidak
boleh melakukan perbuatan riba.
3. Tidak
boleh dengan cara-cara zalim (aniaya).
4. Tidak
boleh mempermainkan takaran, timbangan, kualitas, dan kehalalan.
5. Tidak
boleh dengan cara-cara spekulasi/berjudi.
6. Tidak
boleh melakukan transaksi jual-beli barang haram.
B. Macam-Macam
Mu’amalah
Sebagaimana telah dijelaskan di
atas tentang macam-macam mu’amalah disini akan dijelaskan lebih lanjut sebagai
berikut.
1. Jual
Beli
Jual beli menurut syariat agama
ialah kesepakatan tukar menukar benda untuk memiliki benda tersebut selamanya.
Melakukan jual-beli dibenarkan, sesuai dengan Firman Allah berikut ini :
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا
يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى
فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ
النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (٢٧٥)
Artinya
: “...dan Allah Swt. Telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba...”
(Q.S. al-baqarah/2:275).
4.
Apabila jual-beli itu menyangkut
suatu barang yang sangat besar nialainya,dan agar tidak terjadi kekurangan
dibelakang hari, al-Qur’an menyarankan agar dicatat, dan ada saksi, lihatlah
penjelasan ini pada Q.S. al-baqarah/2:282
a. Syarat-
syarat jual-beli
Syarat-syarat
adalah sebagai berikut.
1) Penjual
dan pembelinya haruslah :
a. Balig,
b. Berakal
sehat,
c. Atas
kehendak sendiri.
2) Uang
dan barangnya haruslah :
a. Halal
dan Suci. Haram menjual arak dan bangkai, begitu juga babi dan
berhala, termasuk lemak bangkai tersebut.
b. Bermanfaat.
Membeli barang-barang yang tidak bermanfaat sama dengan
menyia-nyiakan harta atau pemboros
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا
إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (٢٧)
Artinya
: “ sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan
syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Q.S. al-Isra/17:27)
c. Keadaan
barang dapat diserah terimakan. Tidak sah menjual barang yang tidak
dapat diserah terimakan. Contohnya, menjual ikan dalam laut atau barang
yang sedang dijadikan jaminan sebab semua itu mengandung tipu daya.
d. Keadaan
barang diketahui oleh penjual dan pembelinya.
e. Milik
sendiri, sabda Rasulullah Saw., “tak sah jual-beli melainkan atas barang
yang dimiliki.” (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi).
5.
3) Ijab
Qobul
Seperti
pernyataan penjual, “Saya jual barang ini dengan harga sekian.” Pembeli menjawab,
“Baiklah saya beli.”
Dengan
demikian, berarti jual-beli itu berlangsung suka sama suka. Rasulullah Saw.
Bersabda, “sesungguhnya jual-beli itu hanya sah jika suka sama suka.” (H.R Ibnu
Hibban).
b. Khiyar
1. Pengertian khiyar
Khiyar
adalah bebas memutuskan antara menerusakan jual beli atau membatalkannya. Islam
memperbolehkan melakukan khiyar karena jual-beli haruslah berdasarkan suka sama
suka, tanpa ada unsur paksaan sedikitpun. Penjual berhak mempertahakan harga
barang dagangannya, sebaliknya pembeli berhak menawar atas dasar kualitas
barang yang diyakininya. Rasulullah Saw. Bersabda, “penjual dan pembeli tetap
dalam khiyar selama keduanya belum berpisah. Apabila keduanya berlaku
benar-benar dan suka menerangkan keadaan (barang)nya, maka jual beli akan
memberkahi keduanya. Apabila keduanya menyembunyikan keadaan sesungguhnya serta
berlaku dusta, maka dihapus keberkahan jual belinya.” (H.R Bukhari dan Muslim).
2. Macam-macam
Khiyar
a. Khiyar
Majelis, adalah selama penjual dan pembeli masih berada ditempat
berlangsungnya
transaksi atau tawar-menawar. Keduanya berhak memutuskan atau membatalkan
jual-beli. Rasulullah Saw. Bersabda, “ dua orang yang berjual beli, boleh
memilih akan meneruskan atau tidak selama keduanya belum berpisah.” ( H.R
Bukhori dan Muslim).
b. Khiyar
syarat, adalah khiyar yang dijadikan syarat dalam jual-beli. Misalnya penjual
mengatakan,”saya jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar tiga
hari.” Maksudnya penjual memberi batas waktu kepada pembeli untuk memutuskan
jadi tidaknya pembeliannya tersebut dalam waktu tig hari. Apabila pembeli
mengiyakan, status barang tersebut sementara waktu (dalam masa khiyar) tidak
ada pemiliknya, artinya, si penjual tidak berhak menawarkan kepada orang lain
lagi. Namun, jika akhirnya pembeli memutuskan tidak jadi, barang tersebut
menjadi hak penjual kembali. Rasulullah Saw. Bersabda kepada seorang lelaki,
“Engkau boleh khiyar pada segala barang yang engkau beli selama tiga hari
tigamalam.” (H.R Baihaqi dan Ibnu Majah).
c. Khiyar
Aibi (cacat), adalah pembeli boleh mengembelikan barang yang dibelinya jika
terdapat cacat yang dapat mengurangi kualitas nilai barang tersebut, namun
hendaknya dilakukan sesegera mungkin.
6.
c. Riba
1) Pengertian
Riba
Riba
adalah bunga uang atau nilai lebih atas penukaran barang. Hal ini sering
terjadi dalam pertukaran bahan makanan, perak, emas, dan pinjam-meminjam.
Riba,
apapun bentuknya, dalam syari’at islam hukumnya haram. Sanksi hukumnya juga
sangat berat. Diterangkan dalam hadist yang di riwayatkan bahwa, “Rasulullah
mengutuk orang yang mengambil riba, orang yang mewakilkan, orang yang mencatat,
dan orang yang menyaksikannya. (H.R Muslim). Dengan demikian, semua orang yang
terlibat dalam riba sekalipun hanya sebagai saksi, terkena dosanya juga.
a) Sama
timbangan ukurannya atau
b) Dilakukam
serah terima saat itu juga,
c) Tunai
Apabila
tidak sama jenisnya seperti emas dan perak boleh berbeda takarannya, namun tetap
harus secara tunai dan diserah terimakan saat itu juga. Kecuali barang yang
berlainan jenis dengan perbedaan seperti perak dan beras, dapat berlaku
ketentuan jual-beli sebagaimana barang-barang yang lain.
2) Macam-macam Riba
a) Riba
Fadli, adalah pertukaran barang sejenis yang tidak sama timbangannya,
misalnya cincin emas 22karat sebesar 10 gram ditukar dengan emas 22 gram
kelebihannya itulah yang termasuk riba.
b) Riba
Qordi, adalah peminjaman dengan syarat harus memberikan kelebihan saat
mengembalikannya. Misal si A bersedia meminjami si B uang sebesar Rp 100.000,00
asal si B bersedia mengembalikannya sebesar Rp115.000,00. Bunga pinjaman itulah
yang disebut riba.
c) Riba
Yadi, adalah akad jual-beli barang sejenis dan sama timbangannya, namun
penjualan dan pembeli berpisah sebelum melakukan serah terima.
d) Riba
Nasi’ah, adalah akad jual-beli dengan penyerahan barang beberapa waktu
kemudian.
7.
2. Utang-piutang
a. Pengertian
Utang-piutang
Utang-piutang
adalah menyerahkan harta dan benda kepada seseorang dengan catatan akan
dikembalikan pada waktu kemudian. Tentu saja dengan tidak mengubah keadaannya.
Misalnya utang Rp100.000,00 dikemudian hari harus melunasinya Rp100.000,00.
Memberi utang kepada seseorang berarti menolongnya dan sangat dianjurkan oleh
agama.
b. Rukun
Utang-piutang
Rukun
utang-piutang ada tiga, yaitu:
1) Yang
berpiutang dan yang berutang,
2) Ada
harta atau barang,
3) Lafadz
kesepatan. Misal: “saya utangkan ini kepadamu.”Yang berutang
menjawab, “Ya, saya utang dulu, beberapa hari lagi (sebutkan dengan
jelas” atau jika sudah punya akan saya lunasi.”
Untuk
menghindari keributan dikemudian hari, Allah Swt. Menyarankan agar kita
mencatat dengan baik utang-piutang yang kita lakukan.
Jika
orang yang berutang tidak dapat melunasi tepat pada waktunya karena kesulitan,
Allah Swt. Menganjurkan memberinya kelonggaran.
وَإِنْ
كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ
إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (٢٨٠)
Artinya: “Dan jika (orang yang
berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia
memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika
kamu mengetahui..” (Q.S.al-Baqarah/2: 280)
Apabila
orang membayar utangnya dengan memberikan kelebihan atas kemauannya sendiri
tanpa perjanjian sebelumnya, kelebihan itu halal bagi yang berpiutang, dan
merupakan suatu kebaikan bagi yang berutang. Rasulullah saw, bersabda: “Sesungguhnya
sebaik-baik kamu, ialah yang sebaik-baiknya kita membayar utang.” (sepakat ahli
hadis). Abu Hurairah ra. Berkata, “Rasulullah saw. Telah berutang hewan,
kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih besar dari hewan yang beliau
utang itu, dan Rasulullah saw. Bersabda, “Orang yang paling baik ialah orang
yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Bila
orang yang berpiutang meminta tambahan pengembalian dari orang yang melunasi
utang dan telah disepakati bersama sebelumnya, hukumnya tidak boleh. Tambahan
pelunasan tersebut tidak halal sebab termasuk riba. Rasulullah saw. Berkata “Tiap-tiap
piutang yang mengambil manfaat maka ia semacam dari beberapa macam riba.” (HR.
Baihaqi)
3. Sewa-menyewa
a. Pengertian
Sewa-menyewa
Sewa
menyewa dalam fiqh Islam disebut ijarah, artinya
imbalan yang harus diterima oleh seseorang atas jasa yang diberikannya. Jasa di
sini berupa penyediaan tenaga dan pikiran, tempat tinggal, atau hewan.
Dasar hukum ijarahdalam firman Allah Swt.
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ
أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لا
تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلا وُسْعَهَا لا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلا
مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا
فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ
أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا
سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ
اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (٢٣٣) Artinya:
”...dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain,maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut...” (Q.S.
al-Baqarah/2: 233)
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ
سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ
كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ
وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى (٦)
Artinya:
“...kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu maka berikanlah imbalannya
kepada mereka...” (Q.S. at-Talaq/65: 6)
b. Syarat
dan Rukun Sewa-menyewa
1) Yang
menyewakan dan yang menyewa haruslah telah balig dan berakal
sehat.
2) Sewa-menyewa
dilangsungkan atas kemauan masing-masing, bukan karena dipaksa.
3) Barang
tersebut menjadi hak sepenuhnya orang yang menyewakan, atau walinya.
4) Ditentukan
barangnya serta keadaan dan sifat-sifatnya.
5) Manfaat
yang akan diambil dari barang tersebut harus diketahui secara jelas oleh kedua
belah pihak. Misalnya, ada orang yang menyewa sebuah rumah. Si penyewa harus
menerangkan secara jelas kepada pihak yang menyewakan, apakah rumah tersebut
mau ditempati atau dijadikan gudang. Dengan demikian, si pemilik rumah akan
mempertimbangkan boleh atau tidak disewa. Sebab risiko kerusakan rumah antara
dipakai sebagai tempat tinggal berbeda dengan risiko dipakai sebagai gudang.
Demikian pula jika barang yang disewakan itu mobil, harus dijelaskan
dipergunakan untuk apa saja.
6) Berapa
lama memanfaatkan barang tersebut harus disebutkan dengan jelas.
7) Harga
sewa dan car pembayaannya juga harus ditentukan dengan jelas serta disepakati
bersama.
9.
Dalam
hal sewa-menyewa atau kontrak tenaga kerja, haruslah diketahui secara jelas dan
disepakati bersama sebelumnya hal-hal berikut.
1) Jenis
pekerjaan dan tenaga kerjanya.
2) Berapa
lama masa kerja.
3) Berapa
gaji dan bagaimana sistem pembayarannya: harian, bulanan, mingguan ataukah
borongan?
4) Tunjangan-tunjangan
seperti transpor, kesehatan,dan lain-lain, kalau ada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar