GURU PENGAMPU : H.Rahmattulloh,S.Pd.I
KD
3.8 Menganalisis
dan mengevaluasi strategi dakwah dan perkembangan Islam di Indonesia |
4.8
Menyajikan prinsip-prinsip strategi dakwah dan perkembangan
Islam di Indonesia |
Tujuan Pembelajaran
Setelah mengikuti proses
pembelajaran, peserta didik diharapkan dapat:
·
Meyakini
kebenaran ketentuan dakwah berdasarkan syariat Islam dalam memajukan
perkembangan Islam di Indonesia
·
Bersikap
moderat dan santun dalam berdakwah dan mengembangkan ajaran Islam
Proses Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Indonesia
Sejarah
mencatat bahwa kaum pedagang memegang peranan penting dalam persebaran agama
dan kebudayaan Islam. Letak Indonesia yang strategis menyebabkan munculnya
bandar-bandar perdagangan yang turut membantu mempercepat persebaran tersebut.
Selain itu, cara lain yang turut berperan ialah melalui dakwah yang dilakukan
para mubaligh (pendakwah).
Untuk lebih jelasnya
kiranya dapat disimak dalam paparan berikut ini.
1. Peranan Kaum Pedagang
Seperti halnya penyebaran
agama Hindu-Buddha, kaum pedagang memegang peranan penting dalam proses
penyebaran agama Islam, baik pedagang dari luar Indonesia maupun para pedagang
Indonesia. Para pedagang itu datang dan berdagang di pusat-pusat perdagangan di
daerah pesisir. Malaka merupakan pusat transit para pedagang. Selain itu,
bandar-bandar di sekitar Malaka seperti Perlak dan Samudra Pasai juga didatangi
para pedagang. Mereka tinggal di tempat-tempat tersebut dalam waktu yang lama
untuk menunggu datangnya angin musim.
Pada saat menunggu inilah
terjadi pembauran antarpedagang dari berbagai bangsa serta antara pedagang dan
penduduk setempat. Terjadilah kegiatan saling memperkenalkan adat istiadat,
budaya, dan agama. Tidak hanya melakukan perdagangan, bahkan juga terjadi
asimilasi melalui perkawinan. Pedagang-pedagang tersebut berasal dari Arab,
Persia, dan Gujarat, yang umumnya beragama Islam.
Mereka mengenalkan agama
dan budaya Islam kepada para pedagang lain maupun kepada penduduk setempat.
Inilah yang membuat penduduk Indonesia mulai memeluk agama Islam. Lama-lama
penganut agama Islam semakin banyak, bahkan kemudian berkembang perkampungan
para pedagang Islam di daerah pesisir.
Penduduk setempat yang
telah memeluk agama Islam kemudian menyebarkan Islam kepada sesama pedagang,
juga kepada sanak familinya. Akhirnya, Islam mulai berkembang di masyarakat
Indonesia. Selain itu, para pedagang dan pelayar tersebut juga ada yang menikah
dengan penduduk setempat, sehingga lahirlah keluarga dan anak-anak yang Islam. Hal
ini berlangsung terus selama bertahun-tahun hingga akhirnya muncul sebuah
komunitas Islam, yang membentuk sebuah pemerintahaan Islam. Dari situlah
lahir kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara.
2. Peranan Bandar-Bandar di Indonesia
Bandar merupakan tempat
berlabuh kapal-kapal atau persinggahan kapal-kapal dagang. Bandar juga
merupakan pusat perdagangan, bahkan juga digunakan sebagai tempat tinggal para
pengusaha perkapalan. Sebagai negara kepulauan yang terletak di jalur
perdagangan internasional, Indonesia memiliki banyak bandar.
Bandar-bandar ini
memiliki peranan dan arti yang penting dalam proses masuknya Islam ke
Indonesia. Para pedagang beragama Islam di bandar-bandar inilah memperkenalkan
Islam kepada para pedagang lain atau kepada penduduk setempat. Dengan demikian,
bandar menjadi pintu masuk dan pusat penyebaran agama Islam ke Indonesia.
Kalau kita lihat, letak
geografis kota-kota pusat kerajaan yang bercorak Islam pada umunya terletak di
pesisir-pesisir dan muara sungai. Dalam perkembangannya, bandar-bandar tersebut
umumnya tumbuh menjadi kota, bahkan ada yang menjadi kerajaan, seperti Perlak,
Samudra Pasai, Palembang, Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Demak, Jepara, Tuban,
Gresik, Banjarmasin, Gowa, Ternate, dan Tidore. Banyak pemimpin bandar yang
memeluk agama Islam. Akibatnya, rakyatnya pun kemudian banyak memeluk agama
Islam.
Peranan bandar-bandar
sebagai pusat perdagangan dapat kita lihat jejaknya. Para pedagang di dalam
kota mempunyai perkampungan sendiri-sendiri yang penempatannya ditentukan atas
persetujuan dari penguasa kota tersebut, misalnya di Aceh, terdapat
perkampungan orang Portugis, Benggali, Tionghoa, Gujarat, Arab, dan Pegu.
Begitu juga di Banten dan kota-kota pasar kerajaan lainnya.
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa kota-kota pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam
memiliki ciri-ciri yang hampir sama, yaitu letaknya di pesisir, ada pasar, ada
masjid, ada perkampungan, dan ada tempat para penguasa (sultan).
Peran Wali Songo Dalam Menyebarkan Islam di Jawa
Salah
satu cara penyebaran agama Islam ialah dengan cara mendakwah. Selain sebagai
pedagang, para pedagang Islam juga berperan sebagai mubaligh. Ada juga para mubaligh yang datang bersama
pedagang dengan misi agamanya.
Penyebaran Islam melalui
dakwah ini berjalan dengan cara para ulama mendatangi masyarakat objek dakwah,
dengan menggunakan pendekatan sosial budaya. Pola ini memakai bentuk
akulturasi, yaitu menggunakan jenis budaya setempat yang dialiri dengan ajaran
Islam di dalamnya. Selain itu, para ulama ini juga mendirikan
pesantren-pesantren sebagai sarana pendidikan Islam.
Penyebaran agama Islam di
Pulau Jawa dilakukan oleh Wali Songo (9 wali). Wali ialah orang yang sudah
mencapai tingkatan tertentu dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Para wali
ini dekat dengan kalangan istana. Merekalah orang yang memberikan pengesahan
atas sah tidaknya seseorang naik takhta. Mereka juga adalah penasihat sultan.
Dikarenakan dekat dengan kalangan istana, mereka kemudian diberi gelar sunan
atau susuhunan (yang dijunjung tinggi). Kesembilan wali tersebut adalah sebagai
berikut.
1.
Sunan Gresik (Maulana
Malik Ibrahim). Inilah wali yang diyakini sebagai pertama datang ke Jawa pada
abad ke-15 dan menyiarkan Islam di sekitar Gresik. Dimakamkan di Gresik Jawa
Timur pada 822 H/1419 M. Dia ternyata berhasil memikat banyak pengikut.
2.
Sunan Ampel (Raden
Rahmat). Dia menyiarkan Islam di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Selain itu, dia
merupakan perancang pembangunan Masjid Demak.
3.
Sunan Drajad
(Syarifudin). Dia adalah anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan agama di sekitar
Lamongan. Seorang sunan yang berjiwa sosial.
4.
Sunan Bonang (Makdum
Ibrahim). Dia adalah anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan Islam di Tuban, Lasem,
dan Rembang. Sunan yang sangat bijaksana.
5.
Sunan Kalijaga (Raden Mas
Said/Jaka Said). Dia adalah murid Sunan Bonang. Menyiarkan Islam di Jawa
Tengah. Seorang pemimpin, pujangga, dan filosof. Menyiarkan agama dengan cara
menyesuaikan dengan lingkungan setempat.
6.
Sunan Giri (Raden Paku).
Menyiarkan Islam di luar Jawa, yaitu Madura, Bawean, Nusa Tenggara, dan Maluku
dengan metode bermain.
7.
Sunan Kudus (Jafar
Sodiq). Menyiarkan Islam di Kudus, Jawa Tengah. Seorang ahli seni bangunan.
Hasilnya ialah Masjid dan Menara Kudus.
8.
Sunan Muria (Raden Umar
Said). Menyiarkan Islam di lereng Gunung Muria, terletak antara Jepara dan
Kudus, Jawa Tengah. Sangat dekat dengan rakyat jelata.
9.
Sunan Gunung Jati (Syarif
Hidayatullah). Menyiarkan Islam di Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Seorang
pemimpin berjiwa besar.
Para wali tersebut,
sekalipun banyak kalangan yang berpendapat bahwa dakwah mereka lebih banyak
diwarnai nuansa pemikiran tasawuf, tetapi bukan berarti mereka tidak
mempertimbangkan aspek-aspek seperti geo-strategis, geo-politis dan lain-lain.
Meskipun masing-masing tidak hidup sezaman, tetapi dalam pemilihan wilayah
dakwah sepertinya tidak sembarangan.
Penentuan tempat
dakwahnya dipertimbangkan pula dengan faktor geo-strategi yang sesuai dengan
kondisi zamannya. Kalau kita perhatikan, dari kesembilan wali dalam pembagian
wilayah kerjanya ternyata mempunyai dasar pertimbangan geo-strategis yang
mapan. Salah satu yang unik adalah bahwa kesembilan wali tersebut membagi kerja
dengan rasio 5-3-1.
Jawa Timur mendapatkan
perhatian besar dari para wali. Ada lima wali di wilayah ini yang sini
menempatkan diri dengan pembagian teritorial dakwah yang berbeda. Maulana Malik
Ibrahim, sebagai wali perintis mengambil wilayah dakwahnya di Gresik. Setelah
Malik Ibrahim wafat, wilayah ini dikuasai oleh Sunan Giri. Sunan Ampel
mengambil posisi di Surabaya. Sunan Bonang sedikit ke utara di Tuban, sedangkan
Sunan Drajat di Sedayu Lamongan.
Kalau kita perhatikan
posisi wilayah yang dijadikan basis dakwah kelima wali tersebut, kesemuanya
mengambil tempat kota bandar perdagangan atau pelabuhan. Pengambilan posisi
pantai ini adalah ciri Islam sebagai ajaran yang disampaikan oleh para da’i
yang mempunyai profesi sebagai pedagang. Berkumpulnya kelima wali ini di Jawa
Timur adalah karena kekuasaan politik saat itu berpusat di wilayah ini yaitu
Kerajaan Kadiri di Kediri dan Majapahit di Mojokerto.
Pengambilan
posisi di pantai ini sekaligus melayani atau berhubungan dengan pedagang
rempah-rempah dari Indonesia timur. Hal ini sekaligus juga berhubungan dengan
padagang beras dan palawija lainnya, yang datang dari
pedalaman wilayah kekuasaan Kadiri dan Majapahit seperti yang dikemukakan oleh
J.C.Van Leur dalam Indonesia: Trade and
Society.
Sebagaimana
dikutip oleh Ahmad Mansur Suryanegara, selain Islam telah mulai masuk ke
Indonesia sejak abad ke-7 (674), juga dijelaskan bahwa penyebaran Islam di
Indonesia tidak mengenal adanya lembaga khusus yang menanganinya. Selanjutnya,
dijelaskan bahwa setiap muslim adalah sebagai da’i-nya. Hal ini seperti yang
dikemukakan oleh D.H. Burger dan Prajudi dalam Sejarah Sosiologis dan Ekonomis Indonesia,
sebagaimana dikutip oleh Ahmad Mansur Suryanegara, menyatakan bahwa penyebaran
Islam di Indonesia tidak mengenal agresi militer dan agama, tetapi melalui
jalan damai atau pacifique penetration.
Penyebarannya lebih
banyak dijalankan melalui perdagangan. Dari keterangan ini, dapat ditarik
kesimpulan sementara bahwa pemilihan tempat para wali dalam dakwahnya lebih
banyak mengambil posisi bandar perdagangan daripada kota pedalaman.
Para wali di Jawa Timur
lebih terlihat sebagai penyebar Islam yang berdagang. Artinya, tidak seperti
yang banyak digambarkan oleh dongeng yang memberitakan kisah para wali sebagai
tokoh yang menjauhi kehidupan masyarakat seperti berlaku sebagai biksu, atau
lebih banyak beribadah seperti bertapa di gunung daripada aktif di bidang
perekonomian. Ternyata dinamika kehidupannya lebih rasional seperti halnya yang
dicontohkan oleh Muhammad yang juga pernah berdagang.
Para wali di Jawa Tengah
mengambil posisi di Demak, Kudus, dan Muria. Sasaran dakwah para wali yang di
Jawa Tengah tentu berbeda dengan yang ada di wilayah Jawa Timur. Dapat
dikatakan bahwa pusat kekuasaan politik Hindu dan Buddha di Jawa Tengah sudah
tidak berperan lagi. Hanya saja, para wali melihat realitas masyarakat yang
masih dipengaruhi oleh budaya yang bersumber dari ajaran Hindu dan Buddha.
Saat
itu, para wali mengakui wayang sebagai media komunikasi yang mempunyai pengaruh
besar terhadap pola pikir masyarakat. Oleh karena itu, wayang perlu
dimodifikasi, baik bentuk maupun isi kisahnya perlu diislamkan. Seperti tokoh
Janaka yang kemudian diganti namanya menjadi Arjuna, yang berarti mengharapkan
keselamatan sebagaimana dalam bahasa Arab sebagai arju najah, tokoh Bagong yang kemudian diartikan
sebagai ma bagho yang
berarti tidak mau berbuat sesuatu yang tidak terpuji, Petruk yang berarti
meninggalkan sesuatu yang bertentangan dengan syari’at apabila diamanahi sebuah
jabatan, hal ini diambil dari kata fatruk (tinggalkanlah
sebagai fi’il amar).
Sebenarnya, penempatan di
ketiga tempat tersebut tidak hanya melayani penyebaran Islam untuk Jawa Tengah
semata, tetapi juga berfungsi juga sebagai pusat pelayanan Indonesia tengah.
Saat berlangsung aktivitas ketiga wali tersebut, pusat kekuasaan politik dan
ekonomi beralih ke Jawa Tengah, yakni dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit.
Munculnya kesultanan
Demak nantinya melahirkan kesultanan Pajang dan Mataram II. Perubahan kondisi
politik seperti ini, memungkinkan ketiga tempat tersebut mempunyai arti
geo-strategis yang menentukan.
Proses islamisasi di Jawa
Barat hanya ditangani oleh seorang wali, yaitu Syarif Hidayatullah, yang
setelah wafat dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Penentuan tugas hanya oleh
seorang wali untuk Jawa Barat tentu berdasarkan pertimbangan yang rasional
pula. Saat itu, penyebaran ajaran Islam di Indonesia barat, terutama di Sumatra
dapat dikatakan telah merata jika dibandingkan dengan kondisi di Indonesia
timur.
Adapun pemilihan kota
Cirebon sebagai pusat aktivitas dakwah Sunan Gunung Jati tidak dapat dilepaskan
hubungannya dengan jalan perdagangan rempah-rempah sebagai komoditas yang
berasal dari Indonesia timur. Cirebon merupakan pintu perdagangan yang mengarah
ke Jawa Tengah dan Indonesia timur atau ke Indonesia Barat.
Oleh karena itu,
pemilihan Cirebon dengan pertimbangan sosial politik dan ekonomi saat itu
mempunyai nilai geo-strategis, geo-politik, dan geo-ekonomi yang menentukan
keberhasilan penyebaran Islam selanjutnya.
Nah,
itulah informasi mengenai kronologi masuknya Islam di Indonesia yang disebarkan
oleh para pedagang, bandar-bandar, dan Wali Songo di Jawa. Islam tidak datang
ke sebuah tempat dan pada suatu masa yang hampa budaya. Dalam ranah ini,
hubungan antara Islam dengan anasis-anasir lokal mengikuti model
keberlangsungan (al-namudzat al-tawashuli),
ibarat manusia yang turun-temurun lintas generasi, demikian juga
kawin-mengawini antara Islam dengan muatan-muatan lokal.
Islam di sisi lain
merupakan agama yang berkarakteristik universal dengan pandangan hidup mengenai
persamaan, keadilan, takaful, kebebasan, kehormatan, serta memiliki konsep
teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti dari seluruh ajaran Islam.