Selasa, 31 Januari 2023

MATERI PAI KELAS 12 IPA 3

 

GURU PENGAMPU : H.Rahmattulloh,S.Pd.I

 

KD

3.8     Menganalisis dan mengevaluasi strategi dakwah dan perkembangan Islam di Indonesia

4.8        Menyajikan prinsip-prinsip strategi dakwah dan perkembangan Islam di Indonesia

 

       Tujuan Pembelajaran

Setelah mengikuti proses pembelajaran, peserta didik diharapkan dapat:

·         Meyakini kebenaran ketentuan dakwah berdasarkan syariat Islam dalam memajukan perkembangan Islam di Indonesia

·         Bersikap moderat dan santun dalam berdakwah dan mengembangkan ajaran Islam

 

Proses Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Indonesia

 

Sejarah mencatat bahwa kaum pedagang memegang peranan penting dalam persebaran agama dan kebudayaan Islam. Letak Indonesia yang strategis menyebabkan munculnya bandar-bandar perdagangan yang turut membantu mempercepat persebaran tersebut. Selain itu, cara lain yang turut berperan ialah melalui dakwah yang dilakukan para mubaligh (pendakwah).

Untuk lebih jelasnya kiranya dapat disimak dalam paparan berikut ini.

1. Peranan Kaum Pedagang

Seperti halnya penyebaran agama Hindu-Buddha, kaum pedagang memegang peranan penting dalam proses penyebaran agama Islam, baik pedagang dari luar Indonesia maupun para pedagang Indonesia. Para pedagang itu datang dan berdagang di pusat-pusat perdagangan di daerah pesisir. Malaka merupakan pusat transit para pedagang. Selain itu, bandar-bandar di sekitar Malaka seperti Perlak dan Samudra Pasai juga didatangi para pedagang. Mereka tinggal di tempat-tempat tersebut dalam waktu yang lama untuk menunggu datangnya angin musim.

Pada saat menunggu inilah terjadi pembauran antarpedagang dari berbagai bangsa serta antara pedagang dan penduduk setempat. Terjadilah kegiatan saling memperkenalkan adat istiadat, budaya, dan agama. Tidak hanya melakukan perdagangan, bahkan juga terjadi asimilasi melalui perkawinan. Pedagang-pedagang tersebut berasal dari Arab, Persia, dan Gujarat, yang umumnya beragama Islam.

Mereka mengenalkan agama dan budaya Islam kepada para pedagang lain maupun kepada penduduk setempat. Inilah yang membuat penduduk Indonesia mulai memeluk agama Islam. Lama-lama penganut agama Islam semakin banyak, bahkan kemudian berkembang perkampungan para pedagang Islam di daerah pesisir.

Penduduk setempat yang telah memeluk agama Islam kemudian menyebarkan Islam kepada sesama pedagang, juga kepada sanak familinya. Akhirnya, Islam mulai berkembang di masyarakat Indonesia. Selain itu, para pedagang dan pelayar tersebut juga ada yang menikah dengan penduduk setempat, sehingga lahirlah keluarga dan anak-anak yang Islam. Hal ini berlangsung terus selama bertahun-tahun hingga akhirnya muncul sebuah komunitas Islam, yang  membentuk sebuah pemerintahaan Islam. Dari situlah lahir kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara.

2. Peranan Bandar-Bandar di Indonesia

Bandar merupakan tempat berlabuh kapal-kapal atau persinggahan kapal-kapal dagang. Bandar juga merupakan pusat perdagangan, bahkan juga digunakan sebagai tempat tinggal para pengusaha perkapalan. Sebagai negara kepulauan yang terletak di jalur perdagangan internasional, Indonesia memiliki banyak bandar.

 

Bandar-bandar ini memiliki peranan dan arti yang penting dalam proses masuknya Islam ke Indonesia. Para pedagang beragama Islam di bandar-bandar inilah memperkenalkan Islam kepada para pedagang lain atau kepada penduduk setempat. Dengan demikian, bandar menjadi pintu masuk dan pusat penyebaran agama Islam ke Indonesia.

Kalau kita lihat, letak geografis kota-kota pusat kerajaan yang bercorak Islam pada umunya terletak di pesisir-pesisir dan muara sungai. Dalam perkembangannya, bandar-bandar tersebut umumnya tumbuh menjadi kota, bahkan ada yang menjadi kerajaan, seperti Perlak, Samudra Pasai, Palembang, Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Banjarmasin, Gowa, Ternate, dan Tidore. Banyak pemimpin bandar yang memeluk agama Islam. Akibatnya, rakyatnya pun kemudian banyak memeluk agama Islam.

Peranan bandar-bandar sebagai pusat perdagangan dapat kita lihat jejaknya. Para pedagang di dalam kota mempunyai perkampungan sendiri-sendiri yang penempatannya ditentukan atas persetujuan dari penguasa kota tersebut, misalnya di Aceh, terdapat perkampungan orang Portugis, Benggali, Tionghoa, Gujarat, Arab, dan Pegu. Begitu juga di Banten dan kota-kota pasar kerajaan lainnya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kota-kota pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam memiliki ciri-ciri yang hampir sama, yaitu letaknya di pesisir, ada pasar, ada masjid, ada perkampungan, dan ada tempat para penguasa (sultan).

Peran Wali Songo Dalam Menyebarkan Islam di Jawa

 

Salah satu cara penyebaran agama Islam ialah dengan cara mendakwah. Selain sebagai pedagang, para pedagang Islam juga berperan sebagai mubaligh. Ada juga para mubaligh yang datang bersama pedagang dengan misi agamanya.

Penyebaran Islam melalui dakwah ini berjalan dengan cara para ulama mendatangi masyarakat objek dakwah, dengan menggunakan pendekatan sosial budaya. Pola ini memakai bentuk akulturasi, yaitu menggunakan jenis budaya setempat yang dialiri dengan ajaran Islam di dalamnya. Selain itu, para ulama ini juga mendirikan pesantren-pesantren sebagai sarana pendidikan Islam.

Penyebaran agama Islam di Pulau Jawa dilakukan oleh Wali Songo (9 wali). Wali ialah orang yang sudah mencapai tingkatan tertentu dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Para wali ini dekat dengan kalangan istana. Merekalah orang yang memberikan pengesahan atas sah tidaknya seseorang naik takhta. Mereka juga adalah penasihat sultan. Dikarenakan dekat dengan kalangan istana, mereka kemudian diberi gelar sunan atau susuhunan (yang dijunjung tinggi). Kesembilan wali tersebut adalah sebagai berikut.

1.      Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim). Inilah wali yang diyakini sebagai pertama datang ke Jawa pada abad ke-15 dan menyiarkan Islam di sekitar Gresik. Dimakamkan di Gresik Jawa Timur pada 822 H/1419 M. Dia ternyata berhasil memikat banyak pengikut.

2.      Sunan Ampel (Raden Rahmat). Dia menyiarkan Islam di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Selain itu, dia merupakan perancang pembangunan Masjid Demak.

3.      Sunan Drajad (Syarifudin). Dia adalah anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan agama di sekitar Lamongan. Seorang sunan yang berjiwa sosial.

4.      Sunan Bonang (Makdum Ibrahim). Dia adalah anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan Islam di Tuban, Lasem, dan Rembang. Sunan yang sangat bijaksana.

5.      Sunan Kalijaga (Raden Mas Said/Jaka Said). Dia adalah murid Sunan Bonang. Menyiarkan Islam di Jawa Tengah. Seorang pemimpin, pujangga, dan filosof. Menyiarkan agama dengan cara menyesuaikan dengan lingkungan setempat.

6.      Sunan Giri (Raden Paku). Menyiarkan Islam di luar Jawa, yaitu Madura, Bawean, Nusa Tenggara, dan Maluku dengan metode bermain.

7.      Sunan Kudus (Jafar Sodiq). Menyiarkan Islam di Kudus, Jawa Tengah. Seorang ahli seni bangunan. Hasilnya ialah Masjid dan Menara Kudus.

8.      Sunan Muria (Raden Umar Said). Menyiarkan Islam di lereng Gunung Muria, terletak antara Jepara dan Kudus, Jawa Tengah. Sangat dekat dengan rakyat jelata.

9.      Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah). Menyiarkan Islam di Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Seorang pemimpin berjiwa besar.

Para wali tersebut, sekalipun banyak kalangan yang berpendapat bahwa dakwah mereka lebih banyak diwarnai nuansa pemikiran tasawuf, tetapi bukan berarti mereka tidak mempertimbangkan aspek-aspek seperti geo-strategis, geo-politis dan lain-lain. Meskipun masing-masing tidak hidup sezaman, tetapi dalam pemilihan wilayah dakwah sepertinya tidak sembarangan.

Penentuan tempat dakwahnya dipertimbangkan pula dengan faktor geo-strategi yang sesuai dengan kondisi zamannya. Kalau kita perhatikan, dari kesembilan wali dalam pembagian wilayah kerjanya ternyata mempunyai dasar pertimbangan geo-strategis yang mapan. Salah satu yang unik adalah bahwa kesembilan wali tersebut membagi kerja dengan rasio 5-3-1.

 

Jawa Timur mendapatkan perhatian besar dari para wali. Ada lima wali di wilayah ini yang sini menempatkan diri dengan pembagian teritorial dakwah yang berbeda. Maulana Malik Ibrahim, sebagai wali perintis mengambil wilayah dakwahnya di Gresik. Setelah Malik Ibrahim wafat, wilayah ini dikuasai oleh Sunan Giri. Sunan Ampel mengambil posisi di Surabaya. Sunan Bonang sedikit ke utara di Tuban, sedangkan Sunan Drajat di Sedayu Lamongan.

Kalau kita perhatikan posisi wilayah yang dijadikan basis dakwah kelima wali tersebut, kesemuanya mengambil tempat kota bandar perdagangan atau pelabuhan. Pengambilan posisi pantai ini adalah ciri Islam sebagai ajaran yang disampaikan oleh para da’i yang mempunyai profesi sebagai pedagang. Berkumpulnya kelima wali ini di Jawa Timur adalah karena kekuasaan politik saat itu berpusat di wilayah ini yaitu Kerajaan Kadiri di Kediri dan Majapahit di Mojokerto.

Pengambilan posisi di pantai ini sekaligus melayani atau berhubungan dengan pedagang rempah-rempah dari Indonesia timur. Hal ini sekaligus juga berhubungan dengan padagang beras dan palawija lainnya, yang datang dari
pedalaman wilayah kekuasaan Kadiri dan Majapahit seperti yang dikemukakan oleh J.C.Van Leur dalam 
Indonesia: Trade and Society.

Sebagaimana dikutip oleh Ahmad Mansur Suryanegara, selain Islam telah mulai masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 (674), juga dijelaskan bahwa penyebaran Islam di Indonesia tidak mengenal adanya lembaga khusus yang menanganinya. Selanjutnya, dijelaskan bahwa setiap muslim adalah sebagai da’i-nya. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh D.H. Burger dan Prajudi dalam Sejarah Sosiologis dan Ekonomis Indonesia, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Mansur Suryanegara, menyatakan bahwa penyebaran Islam di Indonesia tidak mengenal agresi militer dan agama, tetapi melalui jalan damai atau pacifique penetration.

Penyebarannya lebih banyak dijalankan melalui perdagangan. Dari keterangan ini, dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa pemilihan tempat para wali dalam dakwahnya lebih banyak mengambil posisi bandar perdagangan daripada kota pedalaman.

Para wali di Jawa Timur lebih terlihat sebagai penyebar Islam yang berdagang. Artinya, tidak seperti yang banyak digambarkan oleh dongeng yang memberitakan kisah para wali sebagai tokoh yang menjauhi kehidupan masyarakat seperti berlaku sebagai biksu, atau lebih banyak beribadah seperti bertapa di gunung daripada aktif di bidang perekonomian. Ternyata dinamika kehidupannya lebih rasional seperti halnya yang dicontohkan oleh Muhammad yang juga pernah berdagang.

Para wali di Jawa Tengah mengambil posisi di Demak, Kudus, dan Muria. Sasaran dakwah para wali yang di Jawa Tengah tentu berbeda dengan yang ada di wilayah Jawa Timur. Dapat dikatakan bahwa pusat kekuasaan politik Hindu dan Buddha di Jawa Tengah sudah tidak berperan lagi. Hanya saja, para wali melihat realitas masyarakat yang masih dipengaruhi oleh budaya yang bersumber dari ajaran Hindu dan Buddha.

Saat itu, para wali mengakui wayang sebagai media komunikasi yang mempunyai pengaruh besar terhadap pola pikir masyarakat. Oleh karena itu, wayang perlu dimodifikasi, baik bentuk maupun isi kisahnya perlu diislamkan. Seperti tokoh Janaka yang kemudian diganti namanya menjadi Arjuna, yang berarti mengharapkan keselamatan sebagaimana dalam bahasa Arab sebagai arju najah, tokoh Bagong yang kemudian diartikan sebagai ma bagho yang berarti tidak mau berbuat sesuatu yang tidak terpuji, Petruk yang berarti meninggalkan sesuatu yang bertentangan dengan syari’at apabila diamanahi sebuah jabatan, hal ini diambil dari kata fatruk (tinggalkanlah sebagai fi’il amar).

Sebenarnya, penempatan di ketiga tempat tersebut tidak hanya melayani penyebaran Islam untuk Jawa Tengah semata, tetapi juga berfungsi juga sebagai pusat pelayanan Indonesia tengah. Saat berlangsung aktivitas ketiga wali tersebut, pusat kekuasaan politik dan ekonomi beralih ke Jawa Tengah, yakni dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit.

Munculnya kesultanan Demak nantinya melahirkan kesultanan Pajang dan Mataram II. Perubahan kondisi politik seperti ini, memungkinkan ketiga tempat tersebut mempunyai arti geo-strategis yang menentukan.

Proses islamisasi di Jawa Barat hanya ditangani oleh seorang wali, yaitu Syarif Hidayatullah, yang setelah wafat dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Penentuan tugas hanya oleh seorang wali untuk Jawa Barat tentu berdasarkan pertimbangan yang rasional pula. Saat itu, penyebaran ajaran Islam di Indonesia barat, terutama di Sumatra dapat dikatakan telah merata jika dibandingkan dengan kondisi di Indonesia timur.

Adapun pemilihan kota Cirebon sebagai pusat aktivitas dakwah Sunan Gunung Jati tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan jalan perdagangan rempah-rempah sebagai komoditas yang berasal dari Indonesia timur. Cirebon merupakan pintu perdagangan yang mengarah ke Jawa Tengah dan Indonesia timur atau ke Indonesia Barat.

Oleh karena itu, pemilihan Cirebon dengan pertimbangan sosial politik dan ekonomi saat itu mempunyai nilai geo-strategis, geo-politik, dan geo-ekonomi yang menentukan keberhasilan penyebaran Islam selanjutnya.

Nah, itulah informasi mengenai kronologi masuknya Islam di Indonesia yang disebarkan oleh para pedagang, bandar-bandar, dan Wali Songo di Jawa. Islam tidak datang ke sebuah tempat dan pada suatu masa yang hampa budaya. Dalam ranah ini, hubungan antara Islam dengan anasis-anasir lokal mengikuti model keberlangsungan (al-namudzat al-tawashuli), ibarat manusia yang turun-temurun lintas generasi, demikian juga kawin-mengawini antara Islam dengan muatan-muatan lokal.

Islam di sisi lain merupakan agama yang berkarakteristik universal dengan pandangan hidup mengenai persamaan, keadilan, takaful, kebebasan, kehormatan, serta memiliki konsep teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti dari seluruh ajaran Islam.

 

Senin, 30 Januari 2023

MATERI PAI KLS 12 IPA 5 PERTEMUAN KE 2

 

GURU PENGAMPU : H.Rahmattulloh,S.Pd.I

 

KD

3.8     Menganalisis dan mengevaluasi strategi dakwah dan perkembangan Islam di Indonesia

4.8        Menyajikan prinsip-prinsip strategi dakwah dan perkembangan Islam di Indonesia

 

       Tujuan Pembelajaran

Setelah mengikuti proses pembelajaran, peserta didik diharapkan dapat:

·         Meyakini kebenaran ketentuan dakwah berdasarkan syariat Islam dalam memajukan perkembangan Islam di Indonesia

·         Bersikap moderat dan santun dalam berdakwah dan mengembangkan ajaran Islam

 

Proses Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Indonesia

 

Sejarah mencatat bahwa kaum pedagang memegang peranan penting dalam persebaran agama dan kebudayaan Islam. Letak Indonesia yang strategis menyebabkan munculnya bandar-bandar perdagangan yang turut membantu mempercepat persebaran tersebut. Selain itu, cara lain yang turut berperan ialah melalui dakwah yang dilakukan para mubaligh (pendakwah).

Untuk lebih jelasnya kiranya dapat disimak dalam paparan berikut ini.

1. Peranan Kaum Pedagang

Seperti halnya penyebaran agama Hindu-Buddha, kaum pedagang memegang peranan penting dalam proses penyebaran agama Islam, baik pedagang dari luar Indonesia maupun para pedagang Indonesia. Para pedagang itu datang dan berdagang di pusat-pusat perdagangan di daerah pesisir. Malaka merupakan pusat transit para pedagang. Selain itu, bandar-bandar di sekitar Malaka seperti Perlak dan Samudra Pasai juga didatangi para pedagang. Mereka tinggal di tempat-tempat tersebut dalam waktu yang lama untuk menunggu datangnya angin musim.

Pada saat menunggu inilah terjadi pembauran antarpedagang dari berbagai bangsa serta antara pedagang dan penduduk setempat. Terjadilah kegiatan saling memperkenalkan adat istiadat, budaya, dan agama. Tidak hanya melakukan perdagangan, bahkan juga terjadi asimilasi melalui perkawinan. Pedagang-pedagang tersebut berasal dari Arab, Persia, dan Gujarat, yang umumnya beragama Islam.

Mereka mengenalkan agama dan budaya Islam kepada para pedagang lain maupun kepada penduduk setempat. Inilah yang membuat penduduk Indonesia mulai memeluk agama Islam. Lama-lama penganut agama Islam semakin banyak, bahkan kemudian berkembang perkampungan para pedagang Islam di daerah pesisir.

Penduduk setempat yang telah memeluk agama Islam kemudian menyebarkan Islam kepada sesama pedagang, juga kepada sanak familinya. Akhirnya, Islam mulai berkembang di masyarakat Indonesia. Selain itu, para pedagang dan pelayar tersebut juga ada yang menikah dengan penduduk setempat, sehingga lahirlah keluarga dan anak-anak yang Islam. Hal ini berlangsung terus selama bertahun-tahun hingga akhirnya muncul sebuah komunitas Islam, yang  membentuk sebuah pemerintahaan Islam. Dari situlah lahir kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara.

2. Peranan Bandar-Bandar di Indonesia

Bandar merupakan tempat berlabuh kapal-kapal atau persinggahan kapal-kapal dagang. Bandar juga merupakan pusat perdagangan, bahkan juga digunakan sebagai tempat tinggal para pengusaha perkapalan. Sebagai negara kepulauan yang terletak di jalur perdagangan internasional, Indonesia memiliki banyak bandar.

 

Bandar-bandar ini memiliki peranan dan arti yang penting dalam proses masuknya Islam ke Indonesia. Para pedagang beragama Islam di bandar-bandar inilah memperkenalkan Islam kepada para pedagang lain atau kepada penduduk setempat. Dengan demikian, bandar menjadi pintu masuk dan pusat penyebaran agama Islam ke Indonesia.

Kalau kita lihat, letak geografis kota-kota pusat kerajaan yang bercorak Islam pada umunya terletak di pesisir-pesisir dan muara sungai. Dalam perkembangannya, bandar-bandar tersebut umumnya tumbuh menjadi kota, bahkan ada yang menjadi kerajaan, seperti Perlak, Samudra Pasai, Palembang, Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Banjarmasin, Gowa, Ternate, dan Tidore. Banyak pemimpin bandar yang memeluk agama Islam. Akibatnya, rakyatnya pun kemudian banyak memeluk agama Islam.

Peranan bandar-bandar sebagai pusat perdagangan dapat kita lihat jejaknya. Para pedagang di dalam kota mempunyai perkampungan sendiri-sendiri yang penempatannya ditentukan atas persetujuan dari penguasa kota tersebut, misalnya di Aceh, terdapat perkampungan orang Portugis, Benggali, Tionghoa, Gujarat, Arab, dan Pegu. Begitu juga di Banten dan kota-kota pasar kerajaan lainnya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kota-kota pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam memiliki ciri-ciri yang hampir sama, yaitu letaknya di pesisir, ada pasar, ada masjid, ada perkampungan, dan ada tempat para penguasa (sultan).

Peran Wali Songo Dalam Menyebarkan Islam di Jawa

 

Salah satu cara penyebaran agama Islam ialah dengan cara mendakwah. Selain sebagai pedagang, para pedagang Islam juga berperan sebagai mubaligh. Ada juga para mubaligh yang datang bersama pedagang dengan misi agamanya.

Penyebaran Islam melalui dakwah ini berjalan dengan cara para ulama mendatangi masyarakat objek dakwah, dengan menggunakan pendekatan sosial budaya. Pola ini memakai bentuk akulturasi, yaitu menggunakan jenis budaya setempat yang dialiri dengan ajaran Islam di dalamnya. Selain itu, para ulama ini juga mendirikan pesantren-pesantren sebagai sarana pendidikan Islam.

Penyebaran agama Islam di Pulau Jawa dilakukan oleh Wali Songo (9 wali). Wali ialah orang yang sudah mencapai tingkatan tertentu dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Para wali ini dekat dengan kalangan istana. Merekalah orang yang memberikan pengesahan atas sah tidaknya seseorang naik takhta. Mereka juga adalah penasihat sultan. Dikarenakan dekat dengan kalangan istana, mereka kemudian diberi gelar sunan atau susuhunan (yang dijunjung tinggi). Kesembilan wali tersebut adalah sebagai berikut.

1.      Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim). Inilah wali yang diyakini sebagai pertama datang ke Jawa pada abad ke-15 dan menyiarkan Islam di sekitar Gresik. Dimakamkan di Gresik Jawa Timur pada 822 H/1419 M. Dia ternyata berhasil memikat banyak pengikut.

2.      Sunan Ampel (Raden Rahmat). Dia menyiarkan Islam di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Selain itu, dia merupakan perancang pembangunan Masjid Demak.

3.      Sunan Drajad (Syarifudin). Dia adalah anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan agama di sekitar Lamongan. Seorang sunan yang berjiwa sosial.

4.      Sunan Bonang (Makdum Ibrahim). Dia adalah anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan Islam di Tuban, Lasem, dan Rembang. Sunan yang sangat bijaksana.

5.      Sunan Kalijaga (Raden Mas Said/Jaka Said). Dia adalah murid Sunan Bonang. Menyiarkan Islam di Jawa Tengah. Seorang pemimpin, pujangga, dan filosof. Menyiarkan agama dengan cara menyesuaikan dengan lingkungan setempat.

6.      Sunan Giri (Raden Paku). Menyiarkan Islam di luar Jawa, yaitu Madura, Bawean, Nusa Tenggara, dan Maluku dengan metode bermain.

7.      Sunan Kudus (Jafar Sodiq). Menyiarkan Islam di Kudus, Jawa Tengah. Seorang ahli seni bangunan. Hasilnya ialah Masjid dan Menara Kudus.

8.      Sunan Muria (Raden Umar Said). Menyiarkan Islam di lereng Gunung Muria, terletak antara Jepara dan Kudus, Jawa Tengah. Sangat dekat dengan rakyat jelata.

9.      Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah). Menyiarkan Islam di Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Seorang pemimpin berjiwa besar.

Para wali tersebut, sekalipun banyak kalangan yang berpendapat bahwa dakwah mereka lebih banyak diwarnai nuansa pemikiran tasawuf, tetapi bukan berarti mereka tidak mempertimbangkan aspek-aspek seperti geo-strategis, geo-politis dan lain-lain. Meskipun masing-masing tidak hidup sezaman, tetapi dalam pemilihan wilayah dakwah sepertinya tidak sembarangan.

Penentuan tempat dakwahnya dipertimbangkan pula dengan faktor geo-strategi yang sesuai dengan kondisi zamannya. Kalau kita perhatikan, dari kesembilan wali dalam pembagian wilayah kerjanya ternyata mempunyai dasar pertimbangan geo-strategis yang mapan. Salah satu yang unik adalah bahwa kesembilan wali tersebut membagi kerja dengan rasio 5-3-1.

 

Jawa Timur mendapatkan perhatian besar dari para wali. Ada lima wali di wilayah ini yang sini menempatkan diri dengan pembagian teritorial dakwah yang berbeda. Maulana Malik Ibrahim, sebagai wali perintis mengambil wilayah dakwahnya di Gresik. Setelah Malik Ibrahim wafat, wilayah ini dikuasai oleh Sunan Giri. Sunan Ampel mengambil posisi di Surabaya. Sunan Bonang sedikit ke utara di Tuban, sedangkan Sunan Drajat di Sedayu Lamongan.

Kalau kita perhatikan posisi wilayah yang dijadikan basis dakwah kelima wali tersebut, kesemuanya mengambil tempat kota bandar perdagangan atau pelabuhan. Pengambilan posisi pantai ini adalah ciri Islam sebagai ajaran yang disampaikan oleh para da’i yang mempunyai profesi sebagai pedagang. Berkumpulnya kelima wali ini di Jawa Timur adalah karena kekuasaan politik saat itu berpusat di wilayah ini yaitu Kerajaan Kadiri di Kediri dan Majapahit di Mojokerto.

Pengambilan posisi di pantai ini sekaligus melayani atau berhubungan dengan pedagang rempah-rempah dari Indonesia timur. Hal ini sekaligus juga berhubungan dengan padagang beras dan palawija lainnya, yang datang dari
pedalaman wilayah kekuasaan Kadiri dan Majapahit seperti yang dikemukakan oleh J.C.Van Leur dalam 
Indonesia: Trade and Society.

Sebagaimana dikutip oleh Ahmad Mansur Suryanegara, selain Islam telah mulai masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 (674), juga dijelaskan bahwa penyebaran Islam di Indonesia tidak mengenal adanya lembaga khusus yang menanganinya. Selanjutnya, dijelaskan bahwa setiap muslim adalah sebagai da’i-nya. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh D.H. Burger dan Prajudi dalam Sejarah Sosiologis dan Ekonomis Indonesia, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Mansur Suryanegara, menyatakan bahwa penyebaran Islam di Indonesia tidak mengenal agresi militer dan agama, tetapi melalui jalan damai atau pacifique penetration.

Penyebarannya lebih banyak dijalankan melalui perdagangan. Dari keterangan ini, dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa pemilihan tempat para wali dalam dakwahnya lebih banyak mengambil posisi bandar perdagangan daripada kota pedalaman.

Para wali di Jawa Timur lebih terlihat sebagai penyebar Islam yang berdagang. Artinya, tidak seperti yang banyak digambarkan oleh dongeng yang memberitakan kisah para wali sebagai tokoh yang menjauhi kehidupan masyarakat seperti berlaku sebagai biksu, atau lebih banyak beribadah seperti bertapa di gunung daripada aktif di bidang perekonomian. Ternyata dinamika kehidupannya lebih rasional seperti halnya yang dicontohkan oleh Muhammad yang juga pernah berdagang.

Para wali di Jawa Tengah mengambil posisi di Demak, Kudus, dan Muria. Sasaran dakwah para wali yang di Jawa Tengah tentu berbeda dengan yang ada di wilayah Jawa Timur. Dapat dikatakan bahwa pusat kekuasaan politik Hindu dan Buddha di Jawa Tengah sudah tidak berperan lagi. Hanya saja, para wali melihat realitas masyarakat yang masih dipengaruhi oleh budaya yang bersumber dari ajaran Hindu dan Buddha.

Saat itu, para wali mengakui wayang sebagai media komunikasi yang mempunyai pengaruh besar terhadap pola pikir masyarakat. Oleh karena itu, wayang perlu dimodifikasi, baik bentuk maupun isi kisahnya perlu diislamkan. Seperti tokoh Janaka yang kemudian diganti namanya menjadi Arjuna, yang berarti mengharapkan keselamatan sebagaimana dalam bahasa Arab sebagai arju najah, tokoh Bagong yang kemudian diartikan sebagai ma bagho yang berarti tidak mau berbuat sesuatu yang tidak terpuji, Petruk yang berarti meninggalkan sesuatu yang bertentangan dengan syari’at apabila diamanahi sebuah jabatan, hal ini diambil dari kata fatruk (tinggalkanlah sebagai fi’il amar).

Sebenarnya, penempatan di ketiga tempat tersebut tidak hanya melayani penyebaran Islam untuk Jawa Tengah semata, tetapi juga berfungsi juga sebagai pusat pelayanan Indonesia tengah. Saat berlangsung aktivitas ketiga wali tersebut, pusat kekuasaan politik dan ekonomi beralih ke Jawa Tengah, yakni dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit.

Munculnya kesultanan Demak nantinya melahirkan kesultanan Pajang dan Mataram II. Perubahan kondisi politik seperti ini, memungkinkan ketiga tempat tersebut mempunyai arti geo-strategis yang menentukan.

Proses islamisasi di Jawa Barat hanya ditangani oleh seorang wali, yaitu Syarif Hidayatullah, yang setelah wafat dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Penentuan tugas hanya oleh seorang wali untuk Jawa Barat tentu berdasarkan pertimbangan yang rasional pula. Saat itu, penyebaran ajaran Islam di Indonesia barat, terutama di Sumatra dapat dikatakan telah merata jika dibandingkan dengan kondisi di Indonesia timur.

Adapun pemilihan kota Cirebon sebagai pusat aktivitas dakwah Sunan Gunung Jati tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan jalan perdagangan rempah-rempah sebagai komoditas yang berasal dari Indonesia timur. Cirebon merupakan pintu perdagangan yang mengarah ke Jawa Tengah dan Indonesia timur atau ke Indonesia Barat.

Oleh karena itu, pemilihan Cirebon dengan pertimbangan sosial politik dan ekonomi saat itu mempunyai nilai geo-strategis, geo-politik, dan geo-ekonomi yang menentukan keberhasilan penyebaran Islam selanjutnya.

Nah, itulah informasi mengenai kronologi masuknya Islam di Indonesia yang disebarkan oleh para pedagang, bandar-bandar, dan Wali Songo di Jawa. Islam tidak datang ke sebuah tempat dan pada suatu masa yang hampa budaya. Dalam ranah ini, hubungan antara Islam dengan anasis-anasir lokal mengikuti model keberlangsungan (al-namudzat al-tawashuli), ibarat manusia yang turun-temurun lintas generasi, demikian juga kawin-mengawini antara Islam dengan muatan-muatan lokal.

Islam di sisi lain merupakan agama yang berkarakteristik universal dengan pandangan hidup mengenai persamaan, keadilan, takaful, kebebasan, kehormatan, serta memiliki konsep teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti dari seluruh ajaran Islam.

 

Jumat, 27 Januari 2023

Mater PAI kelas 12 IPS 1 dan 2 pertemuan ke 1 bab 8

 GURU PENGAMPU       : H. RAHMATTULLOH, S.Pd. I

KD.1.8 Meyakini kebenaran ketentuan dakwah berdasarkan syariat islam

        2.8 Bersikap moderat dan santun dalam berdakwah dan mengembangkan ajaran Islam

Tujuan Pembelajaran:

- Meyakini terjadinya Dakwah di Indonesia

- menjelaskan dakwah di Indonesia

A. Masuknya Islam di Indonesia

Terdapat tiga teori besar mengenai masuknya islam di Indoensia.

➠ Teori Gujarat (13 M)
Islam dipercaya datang dari wilayah Gujarat, India melalui peran para pedagang muslim India.

➠ Teori Mekah (7 M)
Islam langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang arab islam.

➠ Teori Persia (13 M)
Dibawa oleh peagang asal Persia yang singgah ke Gujarat sebelum ke Nusantara. Teori Mekkah merupakan teori yang menyatangkan islam tiba di Indonesia paling dahulu yaitu abad ke-7 M, sehingga jika terdapat bukti cukup pada teori Mekah, teori lain tidak perlu dibuktikan.

Bukti Teori Mekah:
➠ Sebelum Nabi Muhammad menerima wahyu telah terjadi kontak dagang pedagang Cina, Arab, dan Nusantara.
➠ Ditemukan jalur perdagangan utama yang menghubungkan Nusantara terutama Sumatra dan Jawa dengan Cina jauh sebelum Nab Muhammad lahir.
➠ Ditemukan perkamungan Arab muslim di Barus abad ke-7 M. Barus dianggap kota tertua di Indonesia dan merupakan daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara.
➠ Ditemukan bahwa barus merupakan perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa termasuk Arab, India, dan Cina.
➠ HAMKA menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera.
➠ Pada tahun 674 khalifah Utsman bin Affan, mengirimkan utusannya ke tanah Jawa.
➠ Ditemukan makam Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik.

B. Strategi Dakwah Islam di Nusantara

1. Perdagangan
Perdagangan dimanfaatkan oleh pedagang muslim sebagai media dakwah. Oleh karena itu, banyak orang yang berinteraksi dengan pedagang Islam.

2. Perkawinan
Pedagang Islam banyak yang menikah dengan wanita lokal yang diIslamkan terlebih dahulu. Dari hasil perkawinan tersebut semakin bertambah jumlah masyarakat muslim sehingga banyak yang mendirikan perkampungan muslim.

3. Pendidikan
Proses Islamisasi dilakukan melalui pesantren-pesantren. Di saat santri dianggap telah mendapat ilmu yang cukup mereka akan kembali ke kampung halaman untuk menyebar luaskan Islam.

4. Tassawuf
Salah satu sifat khas ajaran tasawuf adalah akomodasi terhadap budaya lokal dengan ajaran Islam, sehingga banyak masyarakat Indonesia yang tertarik untuk masuk islam.

5. Kesenian
➠ Saluran dakwah dalam kesenian yang paling dikenal adalah melalui wayang yang dibawa oleh Sunan Kalijaga.
➠ Seni bangunan masjid yang khas.
➠ Juga melalui seni tari, musik, pahat ukir, dll.

6. Politik
Di Maluku dan Sulawesi Selatan, kebanyakan rakyat masuk islam setelah rajanya masuk islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di wilayah ini. Jalur politik juga ditempuh ketika kerajaan Islam menaklukkan kerajaan non Islam, baik di Sumatera, Jawa, maupun Indonesia bagian Timur.